ILESVANILLE — Masyarakat adat umumnya dihadapkan dengan berbagai tantangan dalam mengakses berbagai hal termasuk sektor pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan.
Hal ini menjadi lebih sulit ketika masyarakat adat tersebut menyandang disabilitas. Program Manager Estungkara dari organisasi masyarakat sipil KEMITRAAN, Muhammad Yasir Sani, memberikan contoh tantangan yang dihadapi masyarakat adat penyandang disabilitas.
Artinya, alat bantu seperti kursi roda tidak begitu membantu warga adat difabel yang tinggal di wilayah pegunungan karena tekstur jalan, sarana, dan prasarana tidak memadai.
Penyandang disabilitas mental seperti orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) juga menghadapi tantangan pelik. Mereka cenderung dikurung di rumah karena sulitnya mengakses fasilitas kesehatan.
Tak henti di situ, perempuan masyarakat adat yang menyandang disabilitas juga menghadapi risiko kekerasan berlapis. Yasir memberi contoh, ada perempuan disabilitas yang merupakan masyarakat adat menjadi korban kekerasan seksual hingga tiga kali.
Sayangnya, hukum yang berlaku di masyarakat adat kerap menggunakan hukum lama dan tidak mengikuti perkembangan yang ada. Misalnya, pemerkosa dihukum dengan harus menyerahkan lima ekor babi.
“Nah ini sedang kami telisik, kenapa hukum adat tidak berjalan secara dinamis mengikuti perkembangan masyarakatnya tapi masih menggunakan hukum yang lama. Misalnya kalau memperkosa cukup bayar lima babi.”
“Ini tantangan terberat, tanpa kita berkolaborasi masyarakat adat, perempuan, khususnya disabilitas yang mengalami kekerasan seksual itu tidak akan tertangani dengan baik,” jelas Yasir.
Pembangunan Inklusif di Indonesia
Yasir Sani setuju bahwa pembangunan yang inklusif di Indonesia perlu didasari oleh fondasi kuat. Fondasi ini meliputi kesetaraan akses layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, peningkatan kesempatan kerja, dan kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan target ambisius untuk mencapai pembangunan yang inklusif dan berkeadilan.
Salah satu upaya strategis adalah penguatan isu Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial (GEDSI) dalam berbagai sektor pembangunan. Langkah ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya tujuan ke-5 tentang kesetaraan gender dan tujuan ke-10 tentang pengurangan ketimpangan.
Sayangnya, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh kelompok marjinal termasuk masyarakat adat dan difabel dalam memperoleh hak dan kesempatan yang setara.
Penguatan Isu GEDSI
Dalam kesempatan yang sama, Team Leader INKLUSI, Kate Shanahan, menekankan bahwa penguatan isu GEDSI bukan hanya tentang memenuhi target statistik, tetapi juga tentang menciptakan perubahan kebijakan yang berkelanjutan.
“Ketika kita telah bersama-sama menyadari pentingnya isu GEDSI menjadi bagian dari kebijakan pemerintah secara jangka panjang, maka kami optimistis akan terjadi perubahan sosial yang memastikan setiap individu, tanpa terkecuali, memiliki kesempatan yang sama untuk berkontribusi dan menikmati hasil pembangunan,” ujar Kate.
Kate juga menekankan bahwa kolaborasi multipihak, termasuk dengan organisasi masyarakat sipil, merupakan kunci bagi INKLUSI dalam mendukung pemerintah mencapai target-target tersebut secara lebih efektif dan berkelanjutan.
“INKLUSI bermitra dengan 11 organisasi masyarakat sipil di 32 provinsi untuk memperkuat kapasitas lokal dalam mengintegrasikan perspektif GEDSI, sehingga dapat mendorong kebijakan dan program yang responsif terhadap kebutuhan semua kelompok masyarakat. Agar tidak ada yang tertinggal dalam pembangunan,” tambahnya.
Organisasi masyarakat sipil ini termasuk:
- ’Aisyiyah
- Yayasan BaKTI
- Institut KAPAL Perempuan
- KEMITRAAN
- LAKPESDAM PBNU
- Migrant CARE
- Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA)
- PERMAMPU
- PKBI
- PR YAKKUM
- Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB).